Ikhlas

Dari Amirul Mukminin Abi Hafsh Umar bin al-Khaththab ra. berkata, Aku mendengar Rasulullah saw. Bersabda: “Sesungguhnya amal perbuatan itu tergantung niatnya, dan sesungguhnya setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan. Siapa berhijrah karena Allah dari Rasul-Nya, maka hijrahnya (akan diterima) sebagai hijrah karena Allah dan Rasul-Nya, dang siapa hijrahnya karena dunia yang ia cari atau wanita yang ia nikahi, maka ia akan mendapatkan apa yang dituju.” (Diriwayatkan oleh dua imam ahli hadis : Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Mughirah bin Bardizbah Al-Bukhari dan Abdul Husain Muslim bin Al-Hajjaj bin Muslim Al-Qusyairy An-Naisaburi, di dalam kedua kitabnya yang merupakan kitab hadis yang paling shahih)

Pentingnya Ilmu dan Ilmu Tauhid

Imam Al-Bukhari rahimahullah dalam muqoddimah kitab sahihnya berkata, “Al ‘ilmu qoblal qouli wal ‘amali (Ilmu itu sebelum berucap dan beramal)”. Perkataan beliau ini sangatlah bermakna sekali. Karena bagaimana seseorang akan berucap (dengan ucapan yang benar), jika ia tidak mempunyai ilmu? Bagaimana seseorang akan beramal jika tidak dibekali dengan ilmu? Karena apa saja yang dilahirkan dari diri seseorang jikalau tidak dibekali dengan ilmu maka hal tersebut dapat berpotensi untuk salah atau dengan kata lain jika seseorang melahirkan perkataaan atau perbuatan yang tidak didasari dengan ilmu yang benar, maka perkataan dan perbuatan itu dapat menyimpang dari kebenaran. Allah ta’ala berfirman, “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” (QS. Al Israa’:36)

Kedudukan ilmu dalam kehidupan manusia sangatlah penting. Imam Ahmad rahimahullah pernah berkata, “Kebutuhan manusia kepada ilmu (agama) lebih banyak daripada kebutuhannya kepada makanan dan minuman. Karena makanan dan minuman hanya dibutuhkan satu atau dua kali dalam sehari, sedangkan ilmu dibutuhkan sebanyak hembusan nafas”. Dan tingkat pentingnya sebuah ilmu itu tergantung pada objek yang menjadi pembahasannya. Syaikh Abdul Malik Ar-Ramadhani rahimahullah juga telah menukilkan sebuah perkataan yang indah dari Ibnu Qoyyim rahimahullah, “Kemuliaan ilmu itu tergantung pada apa yang dibahas dan tidak ragu lagi bahwa ilmu yang paling mulia dan paling agung adalah ilmu bahwa Allah adalah Dzat yang tidak ada Ilah yang berhak disembah selain Dia Rabbul ‘Alamin..Juga tidak ragu lagi bahwa ilmu tentang Allah, tentang nama-nama-Nya dan sifat-sifat-Nya serta perbuatan-Nya adalah ilmu yang paling mulia dan agung.” Perkataan beliau ini menyiratkan bahwa ilmu yang paling utama adalah ilmu mengenal Allah atau ilmu tauhid, sebagaimana pula perkataan beliau juga, “bahwa ilmu tentang Alloh adalah pangkal segala ilmu dan sebagai pokok pengetahuan seorang hamba akan kebahagiaan, kesempurnaan dan kemaslahatannya di dunia dan di akhirat.” (Miftaah Daaris Sa’aadah).”

Sebagian dari manfaat ilmu tauhid, dari sekian banyak manfaat yang ada, adalah bahwa ilmu tauhid akan membuahkan rasa takut seorang hamba kepada Rabb-nya. Semakin tinggi pengetahuan seorang hamba kepada Allah, maka semakin besar pula rasa takut kepada-Nya. Tentunya rasa takut seseorang kepada Allah tidaklah sama dengan rasa takut seseorang kepada seseorang lainnya. Jika seseorang takut kepada manusia, maka ia akan cenderung menghindari atau menjauhi orang yang ditakutinya tersebut, bahkan tidak jarang dengan disertai rasa benci kepada orang yang ditakutinya itu. Beda halnya dengan orang yang takut kepada Allah. Orang yang takut kepada Allah, justru akan membuat orang tersebut mendekat kepada-Nya. Hal ini dikarenakan pada saat seseorang itu takut kepada Allah, maka pada saat itu pula ia sedang menjadi orang yang taat kepada Allah, dan ketaatan ini yang mengundang seseorang merasa ingin dekat kepada-Nya. Seperti pembahasan sebelumnya bahwa ilmu tauhid dapat mengantarkan seseorang untuk dapat mengenal Allah, dan pengetahuan tentang Allah ini yang kemudian dapat melahirkan rasa takut seseorang kepada-Nya. Sebagaimana disebutkan dalam Qur’an surat Faathir ayat 28, “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah ulama”.

Jika pengenalan atau pengetahuan tentang Allah mengantarkan seseorang untuk dapat takut kepada-Nya, maka demikian pula sebaliknya, kejahilan atau minimnya pengetahuan terhadap Allah akan dapat menjadi induk kemaksiatan. Imam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Setiap pelaku kemaksiatan adalah seorang jahil dan setiap orang yang takut kepada-Nya adalah seorang alim yang taat kepada Allah. Dia menjadi seorang yang jahil hanya karena kurangnya rasa takut yang dimilikinya, kalau saja rasa takutnya kepada Allah sempurna, pastilah dia tidak akan bermaksiat kepada-Nya.”. semakin besar kejahilan (baca: lawan dari berilmu) seseorang tentang Allah, semakin besar pula kemaksiatan yang dilakukannya. Maka perhatikanlah dosa syirik (menyekutukan Allah), merupakan dosa yang paling besar, yang disebabkan besarnya kejahilan pelakunya terhadap Allah ta’ala.

Ahli tauhid yang benar-benar mengenal Allah akan memandang bahwa kemaksiatan (dosa) meskipun kecil, ibarat sebuah gunung yang sangat besar yang akan menjatuhinya. Hal demikian dikarenakan ia mengetahui keagungan Dzat yang Maha Besar sehingga ia menjadi orang yang paling takut kepada-Nya. Oleh sebab itu marilah kita senantiasa meluangkan waktu untuk menuntut ilmu terutama ilmu tauhid, karena ilmu tauhid tidak hanya dibutuhkan diawal-awal kita belajar Islam, namun juga dibutuhkan sebanyak hembusan nafas hidup kita. Dan sebagaimana perkataan salah seorang yang shalih bahwa ilmu itu tidak mendatangimu, melainkan engkau yang harus mendatanginya. Selamat menuntut ilmu dan menanti janji-Nya, “Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” (QS. Al Mujadilah:11)

@Baiti Jannati-Kota Pahlawan

Manfaat Teman Bergaul Yang Sholeh

Diantara hal yang memiliki andil besar dalam mempengaruhi iman atau kebaikan islam seseorang adalah lingkungan yang mana seseorang suka dan lama bergaul dengannya. Apakah itu dari lingkungan keluarga, lingkungan dimana ia tinggal, lingkungan dimana ia bermain atau belajar, dan semacamnya. Jika lingkungan itu baik dan mendukung iman, maka seseorang akan ikut baik pula imannya. Demikian juga sebaliknya. Kondisi seperti ini juga pernah disampaikan oleh Rasulullah saw dalam salah satu sabda beliau, “Seseorang itu tergantung agama teman dekatnya, maka hendaknya kalian memperhatikan siapa yang dijadikan teman akrab.” (HR. Abu Dawud). Dalam Sabda yang lain beliau juga pernah menyatakan, “Sesungguhnya perumpamaan teman dekat yang baik dan teman dekat yang buruk adalah seperti penjual minyak wangi dan tukang pandai besi. Seorang penjual minyak wangi terkadang mengoleskan wanginya kepada kamu dan terkadang kamu membelinya sebagian atau kamu dapat mencium semerbak harumnya minyak wangi itu. Sementara tukang pandai besi adakalanya ia membakar pakaian kamu ataupun kamu akan menciumi baunya yang tidak sedap.” (HR. Bukhori dan Muslim)

Maslahat yang akan diperoleh ketika seseorang bergaul dengan teman yang baik sangatlah besar. Akhlak dan kebaikan teman bergaul yang baik akan mendorong seorang muslim untuk meniru dan mencontoh teman yang baik tersebut, atau minimal masyarakat akan memberikan penilaian yang baik karena melihat teman-teman sepergaulannya yang baik. Belum lagi misalnya ada diantara teman-teman yang baik tersebut yang tanpa sepengetahuan kita telah dengan tulus menghadirkan nama kita dalam doa-doa nya. Dan doa seorang muslim kepada saudaranya tanpa sepengetahuan saudaranya itu adalah termasuk dalam doa yang mustajabah. Bukankah yang demikian itu merupakan karunia yang besar. Keadaan ini juga berlaku sebaliknya yakni apabila seseorang berkumpul dan bergaul dengan teman yang buruk, maka hal itu sungguh dapat membahayakan iman orang tersebut.

Teman-teman yang sholeh akan senantiasa mendukung kita jika kita melakukan suatu kebaikan. Ia akan mengingatkan kita manakala kita melakukan suatu hal yang salah. Dan hanya teman yang sholeh yang akan menemani kita dalam kesusahan hari kiamat nanti disaat pertemanan yang tidak dilandasi dengan iman tidak mampu memberikan manfaat. “Teman-teman akrab pada hari itu (hari kiamat) sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain kecuali orang-orang yang bertakwa” (QS. Az Zukhruf:67)

Hal yang tidak kalah penting adalah cintailah orang-orang yang sholeh. Pada akhir tulisan ini, ada sebuah hadits shahih yang indah untuk kita renungkan, diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan Imam Muslim bahwasanya sahabat Anas bin Malik mengatakan, “Ketika kami dan Rasulullah keluar dari masjid, tiba-tiba seseorang menemui kami di dekat pintu masjid, lalu bertanya, ‘Ya Rasulullah, kapan kiamat itu (akan tiba)?’ Rasulullah saw. kemudian bertanya, ‘Apa yang sudah engkau persiapkan untuk menghadapinya?’. Anas berkata, ‘Orang tersebut, seakan menunduk.’ Kemudian orang tersebut berkata, ‘Ya Rasulullah, aku tidak pernah menyiapkan dalam bentuk shalat, puasa, dan bersedekah yang banyak, namun aku hanya mencintai Allah dan Rasul-Nya.’ Rasulullah bersabda, ’Engkau akan bersama-sama dengan orang yang engkau cintai.’ Dalam kesempatan lain, sahabat Anas bin Malik juga pernah mengatakan, “Aku mencintai Allah, Rasul-Nya, Abu Bakar, dan Umar, dengan harapan semoga kelak aku bersama dengan mereka, meskipun aku tidak pernah melakukan layaknya perbuatan mereka (tidak dapat menandingi amal mereka, red).” (Shahih Muslim)

@Baiti Jannati-Kota Pahlawan